20.11.15

Cerita tentang Jendral Sudirman, Pahlawan yang lahir di Purbalingga

Sebuah cerita yang mengharu biru tentang Jendral Sudirman, seorang pahlawan nasional yang lahir di Purbalingga sama dengan tempat kelahiranku.











Detik-detik saat Panglima Besar Soedirman meninggalkan Desa Pakis untuk kembali ke Yogyakarta. Lelaki bertubuh ringkih itu terdiam sejenak. Usai terbatuk-batuk, ia lantas menatap surat yang sedang dibacanya. Sesekali  ia meninggalkan barisan huruf  dihadapannya. Matanya menerawang. Tak ada niat dalam hatinya untuk turun ke kota. Selain tak tega kepada puluhan ribu prajuritnya yang saat ini masih berjuang di gunung-gunung dan hutan-hutan, secara pribadi ia tak pernah menaruh kepercayaan lagi kepada niat baik musuhnya: Belanda.

Namun permintaan di surat tersebut sungguh membuatnya gelisah. Memang benar Kolonel Gatot Soebroto secara hirarki adalah bawahannya. Tapi dari pengalaman hidup, jelas ia melebihinya. Ia pun mengenal dirinya seperti dia pun mengenal Gatot Soebroto.”…tidak asing lagi saya, tentu saya juga memiliki pendirian begitu, semuanya Tuhan yang menentukan, tetapi sebagai manusia, kita diharuskan ikhtiar. Begitu juga dengan adikku, karena kesehatannya terganggu harus ikhtiar. Mengaso sungguh-sungguh, jangan mengaleh apa-apa.Laat alles wanier. Ini supaya jangan mati konyol, tetapi supaya cita-cita adik tercapai. Meskipun buahnya tidak turut memetik, melihat pohonnya subur, kita merasa gembira dan mengucapkan terimakasih kepada Yang Maha Kuasa. Ini kali, saya selaku suadara tua dari adik, minta ditaati…”

Panglima kurus itu menghela nafas. Dia bisa saja melupakan lambaian Sukarno untuk turun gunung. Tapi menafikan ajakan Sri Sultan dan Kolonel Gatot, rasanya ia tak berdaya. Dalam hatinya, dua manusia itu memiliki tempat tersendiri dan ia sangat hormat dengan pandangan-pandangan mereka berdua.

“Noly!”

“Siap Pak De!”jawab sekretaris Panglima Besar itu

“Saya besok mau turun ke kota. Siapkan semuanya, termasuk pamitan kita kepada Kang Lurah Pakis di sini…” ujar Soedirman dalam nada datar.

Kapten Tjokropanolo alias Noly ragu sejenak. Mungkinkah ini? Bukankah baru beberapa hari lalu, Panglima Besar menggerutu kepadanya soal rencana akan diadakannya kembali perjanjian damai antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Belanda? Namun melihat kesungguhan di mata atasannya, tanpa banyak cakap ia pun bergegas untuk menyiapkan semuanya.

uasana pertemuan pagi itu berlangsung agak muram. Di atas kursi sederhana milik Lurah Pakis, Soedirman merasakan rasa haru mencekik hatinya. Ditatapnya manusia-manusia sederhana yang tengah duduk di hadapannya. Dalam nada bergetar namun tenang, akhirnya ia pun berkata dalam bahasa Jawa halus:

“ Kang Lurah dan Yu Lurah…Setelah sekian lama saya rasakan bahwa saya dan keluarga saya serta seluruh anak buah telah berhutang budi yang besar sekali kepada Kang Lurah sekalian dan Penduduk Pakis. Saya tidak bisa membalas kembali hutang budi ini, selain hanya senantiasa berdoa memohon kepada Yang Maha Kuasa, semogalah dengan ridho-Nya penduduk Pakis ini kelak menemukan rejaning zaman ( zaman sejahtera dan aman tenteram). Dan nanti apabila keadaan sudah aman, saya berangan-angan untuk mengajak anak-anak dan ibunya untuk datang menengok ke Desa Pakis ini guna menyampaikan terimakasih dan sekaligus ingin dapat turut menyongsong datang terwujudnya kerahjaan zaman itu…”

Demi mendengar kata-kata perpisahan yang mengharukan itu, Lurah Pakis dan Isteri yang masih duduk terpaku sejenak hanya bisa diam di hadapan Soedirman. Namun dengan terbata-bata, akhirnya Lurah Pakis pun menjawab ucapan terimakasih dan perpisahan Soedirman, juga dalam bahasa Jawa kromo inggil yang sangat baik:

“ Saya beserta Istri bersama seluruh Penduduk Pakis menghaturkan beribu banyak terimakasih karena panjenengan (anda) dan rombongan telah berkenan menetap tinggal di sini, yang sesungguhnya keadaanya sangat tidak layak bagi panjenengan dan rombongan. Semua itu tidak lain karena hanya demikianlah kemampuan rakyat desa dalam membantu panjenengan dalam perjuangan membela tanah air dan kemerdekaan kita ini…Saya juga memohon maaf yang sedalam-dalamnya atas semua kekurangan itu,kekhilafan seluruh keluarga saya beserta kekhilafan seluruh penduduk Pakis selama melayani panjenengan dan rombongan. Mohon maaf jika dalam pergaulan ada hal-hal yang tidak pantas dan kurang sopan. Itu terjadi karena kami di desa tidak paham tata cara pergaulan seperti priyayi kota…”

Lantas, Lurah Pakis juga memohon agar usai sarapan, Soedirman berkenan menyisakan daharan (makanan) di piringnya dan mengizinkan dirinya dan istrinya untuk melorod (menghabiskan sisa makanan sebagai tanda hormat, bakti dan pengabdian yang tak akan berakhir sampai kapanpun) dan melakukan sembah sujud sungkem di lutut Soedirman.

Begitu  mendengar penuturan dan permohonan Lurah Pakis yang mantan seorang guru itu, lagi-lagi Soedirman hanya bisa terdiam. Kemudian ia berkata dalam nada pelan dan lembut:

“ …memenuhi permohonan Akang Lurah beserta istri yang maknanya saya dapat saya pahami. Maka meskipun dengan perasaan yang penuh haru, saya akan penuhi permohonan itu dengan harapan agar semua itu menjadi pupuk sebagai sarana mengeratkan tali persaudaraan antara saya dengan Akang Lurah beserta Isteri. Sebelum dan sesudahnya, saya minta maaf kepada Kang Lurah dan Isteri, karena ini berarti saya harus memberikan makananyang sudah sisa. Terlebih, secara umur, Kang Lurah lebih tua dibandingkan saya…”

Dialog itu diakhiri dengan acara makan pagi. Usai sarapan, Soedirman lalu mengangkat piringnya yang masih berisi sisa makanan dan memberikannya kepada Lurah Pakis disaksikan seluruh hadirin. Dengan tangan agak gemetar, Lurah Pakis menerima sisa makanan itu, dan secara sopan kemudian bersama sang isteri menghabiskannya.

Beberapa menit kemudian, makanan sisa itu habis sama sekali dari piring Soedirman.Usaimelorod kedua pasangan suami isteri itu lantas mendekati tempat duduk Soedirman secara pelan. Dengan muka tertunduk kemudian mereka duduk bersila di tanah, persis di hadapan Soedirman seraya berkali-kali menyeka air mata yang bercucuran.Soedirman cepat paham. Digesernyaletak kursi yang didudukinya dan disambut dengan sujud sungkem Lurah Pakis dan Isterinya.

Kamis (Legi), 7 Juli 1949. Dalam suasana pagi dan sinar mentari yang menyorot hangat, di sebuah gubuk rakyat yang sangat sederhana pada sebuah lereng gunung yang tandus, menjadi saksi luluhnya hati Sang Jenderal. Bukan oleh api mesiu, tetapi oleh sentuhan kasih dan hormat dari manusia-manusia sederhana yang selama ini melindunginya bukan hanya dengan harta, tetapi dengan nyawa mereka pula.

Sambil mengajak Lurah Pakis dan isterinya berdiri, dipeluknya kedua orang tersebut. Tanpa menghilangkan kharisma keagungannya sebagai panglima, Soedirman pun tak ragu-ragu membiarkan air mata sambung menyambung membasahi kedua pipinya.
etengah tahun kemudian…

Lurah Pakis menerima kabar mengharukan itu dengan tubuh gemetar. Sebagai seorang pemimpin masyarakat, mendengar kabar kematian adalah sudah merupakan hal biasa. Tetapi kabar kematian ini lain…

Setelah berusaha menguasai keadaan, ia lantas menundukan diri. Matanya terpejam. Air matanya mengalir. Terbayanglah wajah lelaki  ringkih  namun memiliki jiwa perkasa: tersenyum dari balik tandu sambil melambaikan tangan kepada rakyat Desa Pakis. Ah, sesungguhnya ia masih muda…ya masih belia sebagai seorang laki-laki. Karena api perjuangan dan kecintaan kepada tanah air serta rakyatnya, menjadikan ia harus bertindak melampaui usianya.

Sembah bekti dalem kekalih kahaturno, Jenderal…(hendijo) sumber : http://arsipindonesia.com

0 Comments: