18.9.15

Foto Itu…

… and the grave
Proves the child ephemeral…
— W.H. Auden




 Foto itu — foto yang mengharu-biru perasaan itu, foto yang tak ingin kita lihat itu, foto yang ditakutkan akan membawa mimpi buruk bagi orang-orang lembut hati di seluruh dunia itu — dengan segera jadi penanda kecemasan kita hari ini. Mayat seorang bocah berumur tiga tahun telungkup di garis pantai. Jidatnya yang rapuh dan kecil tercelup ke ujung ombak yang menghanyutkan tubuhnya kembali ke wilayah Turki. Warna biru celana pendeknya dan merah kausnya seakan-akan memanggil-manggil ke seantero Semenanjung Bodrum.

Kemudian diketahui ia bernama Aylan. Dari Suriah. Bersama kakaknya, Galip, yang berumur lima tahun dan ibunya, Rehan, ia tenggelam ketika perahu yang membawa mereka terbalik. Mereka menuju Pulau Kos, di wilayah Yunani, empat kilometer saja jaraknya dari sana, tapi tak sampai. Hanya si ayah, Abdullah, yang lepas dari bencana. Ada 12 orang pengungsi dalam dua kapal yang penuh, dan delapan di antaranya anak-anak.

Tak mudah kita untuk bertanya, apalagi menjawab, apa yang akan terjadi berikutnya pada bapak yang malang itu. “Masa depan saya hilang”, hanya itu yang dikatakannya setelah memakamkan jasad anak-anak dan isterinya. Ia kembali ke Suriah.

Hari buruk itu 2 September 2015, menjelang musim gugur Yunani. Abdullah pernah inginkan masa depan dan musim Kanada yang tenang: ia meninggalkan tanah kelahirannya yang dihancurkan perang yang kejam antara ISIS dan tentara pemerintah dan pasukan pembrontak dan pasukan Kurdi dan entah apa lagi. Tapi Kanada, dengan birokrasi yang dingin hati, menolak Abdullah dan anak isterinya masuk.

Mereka pun mencoba mencari negeri lain, lewat sebuah ujung Turki, mencoba menyeberangi laut Aegia, mencapai pulau tempat kelahiran Hipokrates, bapak kedokteran, di wilayah Yunani itu. Mereka seperti ribuan pengungsi yang kini menabrak pagar Republik Hungaria, menerobos tepi-tepi Eropa — barisan harapan yang berubah jadi barisan perkabungan yang panjang. Perkabungan atas rubuhnya ribuan rumah asal dan runtuhnya bumi kelahiran. Perkabungan untuk orang-orang yang terusir, Timur Tengah yang remuk redam, Afrika yang dihantam kebengisan, negeri yang dirobek sengitnya perlawanan terhadap kekuasaan yang zalim, dicincang mata-gelap fanatisme agama, dijahanami kerakusan memperoleh wilayah, minyak bumi, dan posisi, disulut dendam yang tersimpan bertahun-tahun.

Kita, jauh dari sana sekalipun, mau tak mau ikut dalam barisan itu. Bukan cuma untuk Aylan. Kita juga murung untuk Abdullah yang berkata, “masa depan saya hilang”. Sebab apa gerangan yang akan tiba nanti dengan harapan-harapan manusia yang patah — setelah dunia menghela nafas lega karena perang nuklir tak jadi meletus 25 tahun yang lalu, tapi ternyata hidup tak lebih jauh dari putus asa?

Foto itu, foto di pasir basah itu. Aylan.

“Tiap anak lahir dengan pesan bahwa Tuhan belum hilang harapan kepada manusia”, konon Rabindranath Tagore pernah berkata. Penyair besar Bengali ini selalu punya frase-frase yang canggih dan cerah, yang manis — dan agak memabukkan. Tapi mungkin karena ia belum menyaksikan Aylan kecil tergeletak dengan muka tersungkur. Aylan yang datang dengan pesan yang baik tapi tiba-tiba tenggelam.

Di pantai semenanjung itu, adakah Tuhan masih belum hilang harapan dan semangat kepada manusia? Sebaliknya masih belum hilangkah semangat manusia di hadapan Tuhan, setelah anak-anak dengan cepat dan mudah jadi korban kekuatan-kekuatan besar yang brutal — di dunia yang tak mereka pilih, tak mereka pahami, seperti mereka juga tak memilih dan memahami pesan Tuhan — jika pun itu ada?

Barangkali pesan itu, kalaupun ada, memang keras, muram. Tapi sejarah selalu menunjukkan bahwa pada saat yang sama yang keras dan muram itu juga mengundang sebuah komitmen: yang lahir akan bisa segera hilang, yang tak bersalah atau pun yang berdosa tak akan bertahan, tapi yang hidup layak dipertahankan.

Hanya mereka yang pernah berada dalam barisan harapan dan perkabungan saja yang bisa mengalami kontradiksi itu dengan teguh dan diam: keteguhan yang berbisik seperti doa.

Saya kira itulah yang ada dalam baris-baris “Lullaby”, Nina Bobok, yang ditulis Auden dalam tahun-tahun yang terancam perang dan kematian, antara 1930-1940-an. Ia tak bisa membawakan optimisme Tagore. Tapi ia juga jauh dari kegetiran kepada hidup, meskipun di dunia yang cidera.

Barangkali kita bisa membaca “Lullaby” dan teringat Aylan yang tersenyum dalam foto bersama Galip sebelum ayah-ibunya berangkat mengungsi:

… kubur
mengingatkan betapa sementara
anak itu. Tapi di pelukanku
sampai fajar datang
biarlah makhluk yang hidup, telentang
fana, berdosa, tapi
indah, sepenuhnya.

Goenawan Mohamad (catatan Pinggir Tempo, 7 Sept 2015)


0 Comments: