30.4.10

Transendensi Sang Oemar Bakri

Januari lalu, majalah Rolling Stones menempatkan Iwan Fals sebagai ikon musik terbesar negeri ini. Orisinalitas, kejujuran, dan keberanian Iwan memaknai realitas sosial menjadi alasan sulit terbantahkan, dialah Sang Maestro. Seiring bergulirnya waktu, Iwan pun bermetamorfosis. Konser penutup tur Perjalanan Spiritual Iwan Fals di Banyumas, Rabu (28/4/2010) malam, membuktikan metamorfosis trasendensi Si Oemar Bakri.

Rabu malam itu suasana di Dusun Mangunsari tak seperti biasanya. Dusun di ujung selatan Banyumas yang biasanya senyap saat malam hari itu hiruk pikuk oleh ribuan orang yang berbondong-bondong menuju Pondok Pesantren Al Falah. Selain waga sekitar, banyak yang datang dari daerah lain, seperti Cilacap, Purbalingga, bahkan Ciamis (Jawa Barat).

15.4.10

Garuda, Referensi Ilmiah Indonesia

Ada berita gembira bagi kalangan pendidik, mahasiswa, atau orang-orang yang berkecimpung di bidang keilmiahan, Departemen pendidikan nasional meluncurkan portal referensi ilmiah Indonesia, Garuda (Garba Rujukan Digital) di www.garuda.dikti.go.id. Didalam portal ini kita bisa melihat atau mendownload karya ilmiah, Hasil penelitian, ebook, skripsi, tesis dalam bentuk bahasa indonesia. 
Portal ini dikembangkan oleh direktorat P2M-Dikti Depdiknas bekerjasama dengan PDII-LIPI serta berbagai perguruan tinggi dalam hal penyediaan konten. Selain bisa mencari, di portal ini juga mempersilahkan lembaga atau instansi yang ingin bekerjasama dalam pengelolaan karya ilmiah, layanan pendistribusian dan pertukaran fulltext.
Silahkan kunjungi alamatnya GARUDA, semoga bermanfaat.

7.4.10

Sajak terakhir WS Rendra

Seringkali aku berkata,
Ketika semua orang memuji milikku
Bahwa sesungguhnya ini hanyalah titipan
Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya
Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya
Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya
Bahwa putraku hanyalah titipan-Nya
Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya:
Mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?

Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
Kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka
Kusebut itu sebagai panggilan apa saja untuk melukiskan kalau itu adalah derita
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku

Aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak popularitas, dan
kutolak sakit,
kutolak kemiskinan,
seolah semua "derita" adalah hukuman bagiku

Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika:
Aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku.

Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku",
Dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku

Gusti,
Padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanya untuk beribadah
"Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja".

(Sajak terakhir WS Rendra, diambil dari milis sebelah)