12.7.09

Mohammad Nuh, dari Pendidik hingga jadi Menteri


Mohammad Nuh Lahir di Gununganyar Surabaya 17 Juni 1959 dari keluarga petani sederhana. M Nuh tumbuh dalam lingkungan yang religius. Tahun 1983 Nuh berhasil menyelesaikan studinya di Jurusan Teknik Elektro ITS dan lulus mendapatkan gelar sarjana Insinyur. Mohammad Nuh mengawali karirnya sebagai dosen Teknik Elektro ITS pada tahun 1984. Ia kemudian mendapat beasiswa menempuh magister di Universite Science et Technique du Languedoc (USTL) Montpellier, Perancis. Mohammad Nuh juga melanjutkan studi S3 di universitas yang sama.
Mohammad Nuh mempunyai seorang istri bernama drg. Laily Rahmawati yang kesehariannya menjabat sebagai Kepala Unit Rawat Jalan RS Islam Surabaya. Nuh menikah dengan drg. Layly Rahmawati, dan ia dikaruniai seorang puteri bernama Rachma Rizqina Mardhotillah (Rizqi), yang lahir di Perancis. Saat ini Rizqi masih aktif kuliah di jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Industri ITS.
“Arek Suroboyo” kelahiran 17 Juni 1959 itu mengaku sempat ditawari tiga hingga empat jabatan setelah tidak menjabat rektor, namun yang ditawarkan itu tidak ada yang cocok dengan semangat kecintaan dan idealismenya. Itulah sebabnya dia memilih kembali menjadi dosen pada pascasarjana ITS mata kuliah “Digital Control System” dengan spesialisasi Sistem Rekayasa Biomedika.
“Tapi, cinta terhadap pekerjaan saja tanpa ada idealisme juga tidak akan sukses, apalagi kalau yang dicari hanya uang dan uang,” kata doktor lulusan Universite Science et Technique du Languedoc, Monpellier, Prancis, yang jabatan rektornya digantikan Prof Priyo Suprobo PhD itu.
Mohammad Nuh adalah anak ketiga dari 10 bersaudara. Ayahnya H. Muchammad Nabhani, adalah pendiri Pondok Pesantren Gununganyar Surabaya.
Pada tahun 1997, Mohammad Nuh diangkat menjadi direktur Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) ITS. Berkat lobi dan kepemimpinannya, PENS menjadi rekanan terpercaya Japan Industrial Cooperation Agency (JICA) sejak tahun 1990.
Pada tanggal 15 Februari 2003, Mohammad Nuh dikukuhkan sebagai rektor ITS. Pada tahun yang sama, Nuh dikukuhkan sebagai guru besar (profesor) bidang ilmu Digital Control System dengan spesialisasi Sistem Rekayasa Biomedika. Ia adalah rektor termuda dalam sejarah ITS, yakni berusia 42 tahun saat menjabat. Semasa menjabat sebagai rektor, ia menulis buku berjudul Startegi dan Arah Kebijakan Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (disingkat Indonesia-SAKTI).
Mohammad Nuh juga menjabat sebagai Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jawa Timur, Sekretaris Yayasan Dana Sosial Al Falah Surabaya, Anggota Pengurus Yayasan Rumah Sakit Islam Surabaya, serta Ketua Yayasan Pendidikan Al Islah Surabaya pada masa jabatannya sebagai rektor ITS.

Pada tahun 2003 ia memperoleh penghargaan JICA Special Awards atas keseriusannya menangani bantuan proyek-proyek dari JICA di ITS. Penghargaan itu merupakan penghargaan pertama yang diberikan kepada orang Indonesia.
Di tahun 2006, Pak Nuh meraih Award of Highest Honor dari Soka University, Jepang, atas kontribusi dan keterlibatannya dalam mempromosikan pendidikan tinggi, kebudayaan, kemanusiaan dan perdamaian.
Pak Nuh sangat memiliki dedikasi yang tinggi di dunia IPTEK, menurut dia, Iptek sangat penting. Dalam bukunya “Membangun ITS: Meletakkan Dasar, Menuai Hikmah”, Pak Nuh mengungkapkan bahwa Iptek memiliki peran sangat besar dalam menentukan keberhasilan perjalanan dari peradaban (budaya) suatu bangsa dan saintek itu sendiri merup;akan anak dari suatu budaya. (2007:199)
Sosok Mohammad Nuh yang merupakan seorang “Guru” patut diteladani. Dari seorang pengajar hingga menjadi seorang Menteri yang duduk di meja kabinet.

http://www.edubenchmark.com/mohammad-nuh.html

( Setelah membaca bukunya tentang islam dan teknologi, setelah melihat bagaimana lihainya dia berbicara tentang teknologi dan di tambah dengan fasihnya dia berkhotbah dalam khotbah Idul Fitri tahun lalu, dalam hati berbicara aku ingin seperti dia, tentu dengan bungkus yang berbeda karena aku bukanlah pendidik :) Semangat)

0 Comments: