Satu lagi pelajaran yang perlu kita ambil dalam banyak hal yaitu terus
menerus/kontinyu Sesuatu yang tidak dilakukan secara kontinyu akan
hilang. Bicara tentang kontinyu jadi ingat pelajaran Fisika yaitu
persamaan kontinyuitas yaitu persamaan tentang gerak fluida jika
kecepatan dan luas permukaan pada titik yang satu dengan titik yang lain
sama akan menyebabkan suatu keajegan aliran yang terus menerus, jika
terjadi dinamisasi volume atau luas permukaan akibatnya adalah suatu
aliran yang berubah-rubah tetapi disini saya tidak ingin membahas
pelajaran menyebalkan itu.
Saya menganalogikan terus menerus ini seperti kita kursus menjahit tetapi tidak mempunyai mesin jahit sehingga tidak pernah praktik atau kursus Bahasa Inggris tetapi tidak pernah dipakai untuk ngomong. saya menjamin pasti semuanya akan hilang, nasibnya seperti saya ini setelah lepas dari duniapers
mahasiswa sepertinya saya sangat jarang sekali menulis secara serius,
hanya sekali-kali menulis beberapa paragraf di beberapa blog pribadi
itupun tidak selalu di update. Jadi sangat wajar jika Langit
Kresna Hariadi (Penulis Seri Novel Gajah Mada) memaksakan untuk terus
menulis 20 halaman setiap hari atau Agus Mustofa membulatkan tekad untuk
setiap bulan menerbitkan buku tasawuf modernnya karena saya yakin
sekali berhenti menulis para penulis beken itu akan sulit untuk
memulainya lagi dan entahlah apakah Andrea Hirata, penulis Laskar
Pelangi akan mampu membuat tulisan yang fenomenal lagi, kita tunggu
saja.
Menulis memang butuh kebiasaan daripada keahlian, karena keahlian hanya sebuah akibat dari kebiasaan dan sudah sejak lama saya tidak lagi menulis sesuatu entah artikel,opini atau apapun yang serius artinya kebiasaan menulis itu telah tiada. Suatu sore yang agak mendung, mas Saiful berkata sambil tiduran "wahyu nanti kamu menulis di Buku Demokrasi ya", deg...keringat dingin mulai muncul dan rasa tidak percaya diri langsung mencuat, perasaan yang sama ketika interview di sebuah grup perusahaan besar di Jakarta. Hal ini tentu bukan karena tidak bisa menulis tetapi kebiasaan untuk menulis itu sudah habis sejak beberapa tahun yang lalu. Dahulu sih pernah menulis di Majalah Mahasiswa tetapi jelas berbeda antara buku dengan Majalah. Menulis buku seperti menulis desertasi program doktor dimana kajiannya tidak lagi Menjawab pertanyaan mengapa? atau bagaimana? tetapi lebih dalam lagi yaitu memunculkan suatu gagasan atau penemuan baru dari tulisan yang akan kita buat.
Secara garis besar penulisan buku mungkin seperti ini pertama adalah belajar memahami yang akan kita tulis, yang kedua adalah membuat ide besar tulisan menjadi berkembang dan yang ketiga adalah menulis sehingga menjadi tulisan yang enak untuk dibaca, berbobot dan menarik. Belajar memahami yang kita tulis yaitu membaca referensi-referensi berupa buku lain, searching internet, makalah, dan sumber lainnya. Mengembangkan tulisan yaitu membuat sub-sub tema yang akan kita bahas sehingga akan muncul permasalahan-permasalahan yang menjadi tubuh dari tulisan yang kita buat dan yang terakhir adalah menulis itu sendiri, ini yang mungkin terberat karena menulis disini adalah mencurahkan hasil dari segala hal baik kontimplasi, pemikiran, pendapat yang berbeda-beda menjadi sebuah tulisan yang mampu merangkum itu semua dan ada ide yang keluar Ahmungkin saya sudah membayangkan terlalu jauh ketika mas saiful mengatakan pernyataanya.
Akhirnya saya sadar betul bahwa saya belum siap untuk menulis sebuah buku yangterlalu
serius, ini bukan berarti penolakan tentunya karena saya sangat bahagia
ketika diajak menulis buku tetapi saya jauh lebih bahagia ketika itu
dibatalkan. Alhamdullilah doa itu terwujud dan saya bisa tidur dengan
tenang, menulis tidak serius di dalam blogpun bisa saya lanjutkan dan
ada tambahan tentunya yaitu mulai belajar untuk menulis agakserius lagi. WH (12 Feb 2009)
Saya menganalogikan terus menerus ini seperti kita kursus menjahit tetapi tidak mempunyai mesin jahit sehingga tidak pernah praktik atau kursus Bahasa Inggris tetapi tidak pernah dipakai untuk ngomong. saya menjamin pasti semuanya akan hilang, nasibnya seperti saya ini setelah lepas dari dunia
Menulis memang butuh kebiasaan daripada keahlian, karena keahlian hanya sebuah akibat dari kebiasaan dan sudah sejak lama saya tidak lagi menulis sesuatu entah artikel,opini atau apapun yang serius artinya kebiasaan menulis itu telah tiada. Suatu sore yang agak mendung, mas Saiful berkata sambil tiduran "wahyu nanti kamu menulis di Buku Demokrasi ya", deg...keringat dingin mulai muncul dan rasa tidak percaya diri langsung mencuat, perasaan yang sama ketika interview di sebuah grup perusahaan besar di Jakarta. Hal ini tentu bukan karena tidak bisa menulis tetapi kebiasaan untuk menulis itu sudah habis sejak beberapa tahun yang lalu. Dahulu sih pernah menulis di Majalah Mahasiswa tetapi jelas berbeda antara buku dengan Majalah. Menulis buku seperti menulis desertasi program doktor dimana kajiannya tidak lagi Menjawab pertanyaan mengapa? atau bagaimana? tetapi lebih dalam lagi yaitu memunculkan suatu gagasan atau penemuan baru dari tulisan yang akan kita buat.
Secara garis besar penulisan buku mungkin seperti ini pertama adalah belajar memahami yang akan kita tulis, yang kedua adalah membuat ide besar tulisan menjadi berkembang dan yang ketiga adalah menulis sehingga menjadi tulisan yang enak untuk dibaca, berbobot dan menarik. Belajar memahami yang kita tulis yaitu membaca referensi-referensi berupa buku lain, searching internet, makalah, dan sumber lainnya. Mengembangkan tulisan yaitu membuat sub-sub tema yang akan kita bahas sehingga akan muncul permasalahan-permasalahan yang menjadi tubuh dari tulisan yang kita buat dan yang terakhir adalah menulis itu sendiri, ini yang mungkin terberat karena menulis disini adalah mencurahkan hasil dari segala hal baik kontimplasi, pemikiran, pendapat yang berbeda-beda menjadi sebuah tulisan yang mampu merangkum itu semua dan ada ide yang keluar Ah
Akhirnya saya sadar betul bahwa saya belum siap untuk menulis sebuah buku yang
0 Comments:
Post a Comment